Sabtu, 24 Januari 2015

PARODI PENDIDIKAN DI INDONESIA



(Sragen, 25 Januari 2015) Sistem pendidikan di Indonesia memang sangat memprihatinkan, karena terlalu banyak lika –liku didalamnya. Mulai dari perubahan kurikulum yang tidak tuntas, perubahan sistem pendidikan yang tidak teratur, sehingga dapat dirasakan bahwa pendidikan di Indonesia ini seolah – olah sebuah bola ping – pong yang sedianya dioper kesana kemari dengan menteri – menteri pendidikan sebagai pemukulnya. Lucu memang, ketika suatu yang sangat sakral disamakan dengan sebuah permainan atau olahraga, namun bagaimana lagi? Ibarat anak kecil, rakyatpun tidak bisa dibodohi dengan cara menunjukkan A tetapi harus dikatakan B, ironi sekali memang.
Kurikulum pendidikan yang masih hangat diberhentikan oleh pemerintahan baru yang dahulunya digagas oleh Menteri Pendidikan di Indonesia, yang pada dasarnya merupakan suatu gagasan yang luar biasa walaupun memang membutuhkan sedikit pemupukan agar dapat menciptakan hasil dari implementasi yang luar biasa pula. Tetapi, seperti kebakaran jenggot pendidikan di Indonesia mengimplementasikan Kurikulum 2013 ini, atau bisa dikatakan dari persiapan hingga pelaksanaan kurikulum tersebut terlalu dibuat ribet, mulai dari distribusi buku paket, sosialisasi, sampai kepada kegiatan belajar mengajar yang menyangkut silabus, RPP, materi, bahkan sampai pada metode belajarnya. Sungguh sangat disayangkan bukan? Pembelajaran yang sebenarnya mampu menjawab pernyataan orang – orang terhadap pendidikan dimana dikatakan Siswa di Jepang sudah membuat robot, Indonesia masih mumet belajar teori! Setidaknya itu yang banyak dikeluhkan rakyat tetapi rakyat sendiri tidak mau diatur, mengenaskan. Mampu mengkritik habis – habisan tetapi tidak memiliki keterbukaan cukup untuk menerima perubahan. Akan percuma jika harus menuruti kemauan rakyat tentang pendidikan, karena menurut saya sebelum dilaksanakan sebuah sistem, tentunya penggagas sistem itu telah memikirkan matang – matang dampak yang akan diperoleh dalam sistem yang akan dijalankan tersebut. Jika dapat diumpamakan, maka sistem pendidikan itu sama dengan rumah tangga yang pada awal perkembangannya pasti terdapat berbagai ujian dan cobaan hingga akhirnya terbentuklah keharmonisan didalamnya, dan apabila terjadi suatu ketidak sepahaman antara satu dan yang lain maka perlu pengukuhan pemahaman kepadanya bukan malah saling mengeluhkan satu sama lainnya. Dan agaknya perceraian antara kurikulum ’13 dengan sistem pendidikan memang terjadi karena adanya eluhan satu pihak dengan pihak yang lainnya yang mengisyaratkan kegagalan dan bukannya kebangkitan sehingga sistem pendidikan di Indonesia memilih kembali kepada cinta lamanya.
Disamping permasalahan kurikulum pendidikan, Indonesia juga dibuat deg-degan dengan rencana penghapusan Ujian Nasional (UN) yang sudah lama menjadi rutinan akhir pembelajaran di Indonesia, dan begitu mendengarkan ungkapan itu seperti ini hati saya berkata Mau jadi apa generasi bangsa ini?. Bagaimana saya tidak berfikiran seperti itu? Dua belas tahun sudah saya berada di lembaga pendidikan formal, dari sekolah tingkat dasar sampai kejuruan tentunya saya mengetahui apa yang ada difikiran para pelajar dan para guru, Are You Kidding Me, Mengenaskan! Tegas saya dalam hati. Ketika saya berada di sekolah begitu banyak teman yang mengeluh Sekolah bertahun – tahun tetapi nasib kita ditentukan dalam tiga hari! Eluhan pasaran itu dilontarkan begitu banyak siswa dan siswi di sekolah, selain itu guru – guru juga was –was hingga akhirnya mereka sibuk menilai siswa dan siswinya masing – masing. Tidak sedikit pula yang mencoba menyamakan sistem pendidikan di Indonesia dengan pendidikan di luar negeri dengan mngetakan Di luar negeri saja tidak ada UN tetapi Indonesia? Miris sekali keluhan ini saya dengar, pendidikan itu bukan tentang bagaimana kita menyamakan dengan yang lainnya tetapi dengan memberi perubahan yang pas dan sesuai walaupun memang sedikit memaksa, namun bukan berarti dengan perubahan itu serta merta bisa menghapus suatu elemen didalamnya. Jika rakyat Indonesia mau ngaca maka berkacalah, jika UN dihapuskan dengan keadaan pendidikan yang seperti ini, dimana kejujuran dalam pendidikan dijunjung tinggi katanya! Maka pemerintah mendapatkan hasil berupa apa dengan upaya pemerintah “Mencerdaskan kehidupan bangsa?” mendapat generasi yang semakin naik atau naik? Mungkin benar di luar negeri tidak ada istilah UN karena apa? Karena mereka terbiasa disiplin dari mulai menteri, pendidik, sampai pada peserta didik bahkan seluruh stake holder yang ada dalam pendidikan itu sendiri, sedangkan Indonesia Peraturan dibuat untuk dilanggar! Itu semboyan Indonesia yang tidak bisa dipungkiri telah lama melekat pada diri rakyat Indonesia. Miris sekali.
Maka, ada baiknya ocehan ditelan sejenak, perubahan bukan untuk menyiksa walau awalnya dilakukan secara terpaksa, untuk apa mengoceh menuntut perubahan tetapi tidak memiliki sifat terbuka? Karena semua itu hanya akan menunjukkan kebodohan yang sesungguhnya, dengan kata lain jika benar – benar mauberubah tidak usah banyak mengeluh, mengeluh boleh tetapi jangan terlalu sering. Tugas kita hanya Action bukannya Acting, berlaku seperti penyulut perubahan padahal sebenarnya tiada yang dilakukan. Sistem pendidikan di Indonesia membutuhkan penanganan khusus bukan pemahaman terputus terima baik maka hasil baik, penerimaan buruk maka hasil buruk, itulah suggesti yang tepat.
Demikian itu artikel yang saya tulis, apabila terdapat kesalahan yang disengaja saya memohon maaf, karena hati memiliki rasa dimana ia meronta ketika rasa tak tersampai padanya. Semoga bisa menjadi renungan bagi siapapun yang bernaung pendidikan dan bermanfaat bagi kita semua. (Rika Meriana)

1 komentar: