(Sragen, 25 Januari 2015) Sistem pendidikan di Indonesia memang
sangat memprihatinkan, karena terlalu banyak lika –liku didalamnya.
Mulai dari perubahan kurikulum yang tidak tuntas, perubahan sistem pendidikan
yang tidak teratur, sehingga dapat dirasakan bahwa pendidikan di Indonesia ini
seolah – olah sebuah bola ping – pong yang sedianya dioper kesana
kemari dengan menteri – menteri pendidikan sebagai pemukulnya. Lucu memang,
ketika suatu yang sangat sakral disamakan dengan sebuah permainan atau
olahraga, namun bagaimana lagi? Ibarat anak kecil, rakyatpun tidak bisa
dibodohi dengan cara menunjukkan A tetapi harus dikatakan B, ironi sekali
memang.
Kurikulum pendidikan yang masih hangat diberhentikan oleh pemerintahan
baru yang dahulunya digagas oleh Menteri Pendidikan di Indonesia, yang pada
dasarnya merupakan suatu gagasan yang luar biasa walaupun memang membutuhkan
sedikit pemupukan agar dapat menciptakan hasil dari implementasi yang luar
biasa pula. Tetapi, seperti kebakaran jenggot pendidikan di Indonesia
mengimplementasikan Kurikulum 2013 ini, atau bisa dikatakan dari persiapan
hingga pelaksanaan kurikulum tersebut terlalu dibuat ribet, mulai dari
distribusi buku paket, sosialisasi, sampai kepada kegiatan belajar mengajar
yang menyangkut silabus, RPP, materi, bahkan sampai pada metode belajarnya.
Sungguh sangat disayangkan bukan? Pembelajaran yang sebenarnya mampu menjawab
pernyataan orang – orang terhadap pendidikan dimana dikatakan Siswa di
Jepang sudah membuat robot, Indonesia masih mumet belajar teori! Setidaknya
itu yang banyak dikeluhkan rakyat tetapi rakyat sendiri tidak mau diatur, mengenaskan.
Mampu mengkritik habis – habisan tetapi tidak memiliki keterbukaan cukup untuk
menerima perubahan. Akan percuma jika harus menuruti kemauan rakyat tentang
pendidikan, karena menurut saya sebelum dilaksanakan sebuah sistem, tentunya
penggagas sistem itu telah memikirkan matang – matang dampak yang akan
diperoleh dalam sistem yang akan dijalankan tersebut. Jika dapat diumpamakan,
maka sistem pendidikan itu sama dengan rumah tangga yang pada awal
perkembangannya pasti terdapat berbagai ujian dan cobaan hingga akhirnya terbentuklah
keharmonisan didalamnya, dan apabila terjadi suatu ketidak sepahaman antara satu
dan yang lain maka perlu pengukuhan pemahaman kepadanya bukan malah saling
mengeluhkan satu sama lainnya. Dan agaknya perceraian antara kurikulum ’13
dengan sistem pendidikan memang terjadi karena adanya eluhan satu pihak
dengan pihak yang lainnya yang mengisyaratkan kegagalan dan bukannya
kebangkitan sehingga sistem pendidikan di Indonesia memilih kembali kepada cinta
lamanya.
Disamping permasalahan kurikulum pendidikan, Indonesia juga dibuat deg-degan
dengan rencana penghapusan Ujian Nasional (UN) yang sudah lama menjadi
rutinan akhir pembelajaran di Indonesia, dan begitu mendengarkan ungkapan itu
seperti ini hati saya berkata Mau jadi apa generasi bangsa ini?. Bagaimana
saya tidak berfikiran seperti itu? Dua belas tahun sudah saya berada di lembaga
pendidikan formal, dari sekolah tingkat dasar sampai kejuruan tentunya saya
mengetahui apa yang ada difikiran para pelajar dan para guru, Are You
Kidding Me, Mengenaskan! Tegas saya dalam hati. Ketika saya berada di
sekolah begitu banyak teman yang mengeluh Sekolah bertahun – tahun tetapi
nasib kita ditentukan dalam tiga hari! Eluhan pasaran itu
dilontarkan begitu banyak siswa dan siswi di sekolah, selain itu guru – guru juga
was –was hingga akhirnya mereka sibuk menilai siswa dan siswinya masing –
masing. Tidak sedikit pula yang mencoba menyamakan sistem pendidikan di
Indonesia dengan pendidikan di luar negeri dengan mngetakan Di luar negeri
saja tidak ada UN tetapi Indonesia? Miris sekali keluhan ini saya dengar,
pendidikan itu bukan tentang bagaimana kita menyamakan dengan yang lainnya
tetapi dengan memberi perubahan yang pas dan sesuai walaupun memang sedikit
memaksa, namun bukan berarti dengan perubahan itu serta merta bisa menghapus
suatu elemen didalamnya. Jika rakyat Indonesia mau ngaca maka berkacalah,
jika UN dihapuskan dengan keadaan pendidikan yang seperti ini, dimana kejujuran
dalam pendidikan dijunjung tinggi katanya! Maka pemerintah
mendapatkan hasil berupa apa dengan upaya pemerintah “Mencerdaskan kehidupan
bangsa?” mendapat generasi yang semakin naik atau naik? Mungkin benar di
luar negeri tidak ada istilah UN karena apa? Karena mereka terbiasa disiplin
dari mulai menteri, pendidik, sampai pada peserta didik bahkan seluruh stake
holder yang ada dalam pendidikan itu sendiri, sedangkan Indonesia Peraturan
dibuat untuk dilanggar! Itu semboyan Indonesia yang tidak bisa dipungkiri
telah lama melekat pada diri rakyat Indonesia. Miris sekali.
Maka, ada baiknya ocehan ditelan sejenak, perubahan bukan
untuk menyiksa walau awalnya dilakukan secara terpaksa, untuk apa mengoceh
menuntut perubahan tetapi tidak memiliki sifat terbuka? Karena semua itu hanya
akan menunjukkan kebodohan yang sesungguhnya, dengan kata lain jika benar –
benar mauberubah tidak usah banyak mengeluh, mengeluh boleh tetapi jangan
terlalu sering. Tugas kita hanya Action bukannya Acting, berlaku
seperti penyulut perubahan padahal sebenarnya tiada yang dilakukan. Sistem
pendidikan di Indonesia membutuhkan penanganan khusus bukan pemahaman
terputus terima baik maka hasil baik, penerimaan buruk maka hasil buruk,
itulah suggesti yang tepat.
Demikian itu artikel yang saya tulis, apabila terdapat kesalahan
yang disengaja saya memohon maaf, karena hati memiliki rasa dimana ia meronta
ketika rasa tak tersampai padanya. Semoga bisa menjadi renungan bagi siapapun
yang bernaung pendidikan dan bermanfaat bagi kita semua. (Rika Meriana)
oke
BalasHapus